Kamis, 26 Juni 2008

Napak Tilas

Selama beberapa hari antara Jakarta-Semarang-Demak, suatu perjalanan spiritual pribadi yang mengesankan. Entah apa yang mendorong pada saat itu, mengalir tanpa kendali.

Terasa amat menyejukkan hati pada saat masuk bangunan tua yang berwibawa untuk tempat ibadah yang tak lapuk oleh waktu, Masjid Agung Demak.

Kemegahan bangunan tua dengan arsitektur yang bermutu pada zamannya, banyak menggugah hati siapapun yang berkunjung dan mengerti. Sebuah hasil karya anak bangsa yang pantas diacungi jempol dan merupakan jati diri bangsa yang telah terukir dalam sejarah di bumi ini dengan membawa simbol kepercayaan terhadap Tuhan.

Sosok anak bangsa sebagai pelaku-pelaku sejarah pada waktu itu yang berkeinginan membebaskan monopoli kebebasan yang telah membelenggu hakikat hak-hak kemanusiaan yang di-iman-i dari sepenggal ikrar di lubuk hati yang paling dalam.



Tercatat nama-nama pejuang pada deretan nisan yang ditata sedemikian rupa. Dua tempat yang berbeda, di komplek Masjid Agung Demak, tokoh yang mendirikan Kesultanan Demak, Raden Fatah dan di komplek Masjid Kadilangu, yang memperkuat nama Wali Songo seorang tokoh kharismatik, Raden Syahid.

Pelaku-pelaku sejarah telah membuktikan semangatnya kepada kita, hanya dengan bekal tekad yang tinggi dan ikhlas tanpa pamrih, bahwa perjuangannya akan mengantarkan generasi yang kuat secara keseluruhan, semuanya bisa terwujud.

Duduk bersimpuh didepan batu nisan mereka, mengingatkan kita kepada keterbatasan waktu berada dibumi ini. Mengevaluasi diri (sudahkah kita berlaku seperti mereka?), membangkitkan solidaritas ( sudahkah kita melanjutkan perjuangannya menurut ayat-ayat yang hakiki?), Berikrar sedalam-dalammya dihati sanubari (sudahkah kita mengakui Allah yang memdominasi hati kita?)

Makam mereka bukan tempat untuk curhat, makam mereka bukan tempat untuk bersandar, makam mereka bukan tempat untuk dijadikan Tuhan. Pekerjaan kita adalah hanya melestarikan hasil karya yang terukir dengan indah di bumi ini. Menjaga keseimbangan dengan laju perkembangan peradaban manusia dari generasi ke generasi.

Mengisi era ini dengan perjuangan tanpa pamrih untuk menegakkan Dua Kalimat. Bekerja keras dengan mengandalkan tangan-tangan sendiri untuk membangun citra bangsa yang handal dan kuat di bumi ini. Pelaku sejarah mengajarkan : untuk tidak meminta, untuk tidak menadahkan tangan, untuk tidak mengharap belas kasihan, tetapi megajarkan untuk menggali ilmu setinggi-tingginya untuk mencapai kehormatan pribadi, masyarakat dan bangsa.

Tulisan ini setidaknya menjadi memorial pribadi dan bukan maksud menggurui. Sekelumit cerita perjalanan ini jika dihayati akan menjadi bahan untuk menapaki jalan selanjutnya yang masih terbentang dengan segala pernak-pernik dan lika-likunya.
Jika kita percaya dan ikhlas bahwa seluruh perjalanan anak manusia ada yang mengatur, marilah kita selalu berharap dan menadahkan tangan kepada Yang Maha Pengatur agar perjuangan kita mendapat pengakuan dan nilai terbaik. A..mi..n.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Bos, tulisannya bagus:-) Sudah seperti tulisan majalah Tempo...:Mantap:) rajin-rajin sowan ke blog lain biar rame!

AHFAIS mengatakan...

Assalamu'alaikum warohmatullohi wabarokatuh.
Buat mas Agus, bagus tuh tulisannya mengangkat budaya daerah.
Oh ya mas! kebetulan sy disuruh buka blog mas Agus oleh adik saya namanya Supri, jadi saya sempatkan baca dan beri komentar sekaligus salam & kenalan buat mas Agus. TERUSLAH MENULIS DI BLOG! DAN JANGAN LUPA BUKA BLOG KAMI JUGA:
http://pks-medanamplas.blogspot.com

Wassalam